Langsung ke konten utama

Rangkap Tiga jadi Satu (Alkuna—Alkana)

       Hanya anggapan semata jika tak terlalu paham manakala dunia begitu indah berputar. Semuanya musti dan pasti berubah. Karena sang hukum semesta pertama tak akan pernah bisa singgah. Sejenak pun mana peduli dengan sekitarnya. Sedetik pun mana sudi menolehkan pandang. Ialah waktu, yang dengan namanya Tuhan bersumpah. Betapa rugi mereka yang tak benar paham, menyertai waktu adalah harapan. Badai pasti berlalu, karena waktu tak kenal lelah berjalan. Hujan segera reda, sebab waktu tak pernah mengenal kata usai. Ketahuilah, boleh jadi satu-satunya hal yang takkan musnah di semesta ini adalah waktu. Bagaimanalah, sebab amat mustahil ia musnah dan tiada. Bagaimana kehidupan akan berjalan setelahnya. Bagi kalian yang percaya bahwa ada kehidupan setelah kematian, waktu tak benar-benar lenyap. Membingungkan bukan? Mau tak mau ia harus tetap ada. Keberlanjutannya must be exist. 
       Diantara banyaknya corak di dunia ini, gue adalah salah satu titik kecil. Berada dalamnya, terlibat olehnya. Adalah sebuah keniscayaan nasib gue bisa baik, pun bisa juga buruk. Tak mengapa, kita butuh kecewa untuk  tahu bahagia. Apalah arti bahagia, jika sedih saja kita tahu bagaimana rasanya. Tinggal nanti kau ukur sendiri. Seberapa banyak selisih antara keduanya. Setidaknya kalau kita pernah sedikit saja merasakan bahagia, coba saja ulang sedemikian rupa. Manakala kau bermuram durja di sudut dinding kamar. Menatap ubin yang mulai basah akan keringat mata. Pikirkan lagi masa-masa itu kembali. Bongkar keseluruhan ingatanmu. Rapikan kembali kenangan indah dan sediakan ruang khusus buatnya. Maka saat dimana nestapa akut membelenggu dengan kuatnya. Ia bisa meluruhkannya hingga tercerai-berai tak bersisa. Seperti halnya gue. Siapa bilang romansa imaginer adalah akhir dari segalanya? Waktu membimbing gue dari carut marutnya keadaan hati. Dengannya gue jadi tahu. Bagaimana rasanya jatuh cinta. Mereka bilang rasanya lebih manis dari permen, tidak juga. Mereka bilang rasanya seperti terbang, tak punya sayap gue. Mereka bilang kau akan tersenyum sepanjang hari, bisa gila gue. Mereka bilang dunia terasa lebih indah, mungkin. 
       Setiap hari gue membaca novel, katakanlah Tere Liye. Selalu gue berpikir ini anak enak betul kisahnya. Walau pasti selalu ada suka duka yang ditorehkan atasnya. Sebagai bumbu racik cerita tentunya. Siapa yang tidak mau jadi seorang Borno pada "Kau, aku, dan sepucuk angpao merah",  lelaki borneo yang mendapatkan hati seorang Mei. Perempuan china berhati mulia. Amboi. 
       Setiap hari gue menonton film, katakanlah ayat-ayat cinta karya Habiburrahman el-shirazy atau  bolehlah perahu kertas karya Dee Lestari. Senantiasa gue berasumsi indah betul kisah ini orang. Meski ada lika-liku dalam tiap adegannya, komplemen tambahan yang cukup menakjubkan. 
       Apakah gue yang ada dalam dunia nyata ini bisa seperti itu juga? Dengan siapa? Imaginer-ku terpacu sedemikian hebatnya, lupa bahwa bilangan itu sudah kuperintah untuk angkat kaki selamanya. Mana mungkin ia mau bersama setelah mengarungi lautan imajinasi tek bertepi. Khayalan pun mulai enggan untuk sekedar tegur sapa setelah melintasi dimensi penuh sisi. Gue benar-benar seorang diri. 
Masih adakah harapan yang tersisa dari semua kenyataan yang ada? Atau bisakah gue sedikit saja mengumpulkan keberanian gue. Sekedar mengobrol mungkin berasa lebih baik. Aha, itulah gunanya media sosial, kawan. Tak tahu pasti apa yang membuat gue mengetik dua kata, nama anggunnya itu. Amboi. Setelah menelusuri dunia maya, gue menemukan nama pengguna yang cocok dengan kriteria. Sempat ragu dia akan menerima permintaan pertemanan gue atau tidak. Gue sampai rela menghitung kancing baju. Bayangkan! Setelah berpikir dengan tingkat kematangan yang cukup, gue pencet itu tombol. Berharap cemas. Tak sampai gue mengambil nafas lega, directly accepted guys! Lantas dia mengirim pesan bahwa siapakah ini? Gue dengan segelintir kegugupan(padahal lewat medsos) menjawab nama gue tanpa penjelasan lebih. Alangkah bego gue yang menganggap kami saling kenal. Nyatanya bicara sekalipun tak pernah. Komplikasinya adalah satu sisi. Sisi dia bertempat sekarang tak tahu menahu bahwa ada satu sisi yang teramat sangat ingin membuat pola indah bersama. Tapi gue tak jadi menyesal, cause she is welcome to me. Dia bilang nama tersebut banyak di dunia. Alhasil gue berhasil menciptakan berderet percakapan panjang(versi gue sendiri sih). Tak salah gue mencomot tema tentang lomba di Lebong itu. Langkah awal inilah yang membuat gue lupa daratan. Gue semakin antusias dalamnya. Berujung pada akibat buruk berkepanjangan. Yang gue yakin ini tak akan berkesudahan. Kami pun terlibat perselisihan karena kesalahan fatal yang tak pernah gue bayangkan. Saat itulah bumi berotasi kembali. Merampas semua kebahagiaan semu gue dalam sekejap. Tanpa ada kejelasan yang setidaknya gue tahu musti bagaimana kedepannya. Percakapan indah, saat gue dipuji begitu eloknya. Membuat gue seakan diantara konstelasi bertaburnya bintang-bintang. Saat dimana kami berbagi pengalaman, bertukar pikiran, dan saling menyemangatkan. Saat dimana gue menjadi tempat untuk dia berkeluh kesah hingga larut malam. Tak pernah gue bermimpi kami bisa sedekat ini. Sampai akhirnya gue sadari, ini hanya satu sisi. Cukup sudah sampai disini. Karena dia telah memutuskan segalanya dengan kalimat yang kurang lebih seperti berikut ini :
"Assalamualaikum, kak afwan bila aku ada salah ya, mungkin aku selama ini banyak salah sama antum, syukron jazakallah dulu atas ilmu-ilmu yang antum berikan, dan sekali lagi afwan kalau aku ada salah. Semoga antum mendapat yang lebih baik lagi, apapun itu aamiin..."
      Setelah berbulan-bulan putus kontak, dia malah memutuskan untuk menyudahi pertemanan kami. Dengan kalimat yang tak bisa kumengerti. Meski itu tak menjelaskan apapun tentang perpisahan. Tapi coba harap digarisbawahi kalimat "... mendapat yang lebih baik lagi... ", apa itu  maksudnya? Gue kehilangan kata untuk membalasnya. Dua kata yang terkirimkan padanya. It's okay. Suatu kebohongan bahwa gue tidak benar baik-baik saja. Ikatan kami yang dulunya serasa seperti senyawa ikatan Alkuna, erat kuat rangkap tiga. Seketika lepas dan teruraikan menjadi rangkap satu,  ikatan lemah Alkana. Indikator kedekatan kami turun drastis menjadi nol koma nol. Tak berasa, hambar seketika. Tidaklah asam, tidak pula basa. Teori Bronsted—Lowry serta Lewis mungkin tak dapat menggambarkannya. Arrhenius pun mati kutu didepannya. Kurva titrasi mungkin tak dapat mendeteksi, menjadi tak berguna. Grafik pertemanan kami seakan terjun bebas, menungkik tajam ke bawah. Tak ayal lagi, aku kembali seorang diri. Perjumpaan singkat yang terasa hangat di sebagian tempat. Sengaja kusisihkan sedikit. Demi bukti bahwa aku pernah merasakannya. Dan bersyukur diberi kesempatan kedua untuk bisa bercengrama bersama. Semua orang pasti memiliki tempat untuk berpulang. Kami, mulai detik ini dan seterusnya. Cukup sampai disini saja. 

Teruntukmu Seorang, 

Mrs. Si Dia (kuharap kau membacanya). 

Komentar

  1. Huhu, aku tidak bisa berkata apa-apa, sungguh. Two thumbs for u kak :'D

    BalasHapus
  2. Keren euy pemilihan kosa katanya. Lanjutkan. Btw saya dapet linknya dari line

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wahhh... Makasih udah sempet berkunjung yaaaa.... Btw blog mu apa!???

      Hapus
  3. Dramatis sekali gan pas mencet tombol, hahaha.. ternyata drama tidak difisik saja, dibatin-pun ada. 😅

    BalasHapus
  4. wah.. keren kak. Semangat terus buatnya, salam Blogger.

    BalasHapus
  5. Iyaaa... Mangats juga yaaa, thanks. Salam Blogger!

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seru!!! Pulang Bersama Konsulat PPMI Assalaam

          Ribetkah? Sebagai aku @arifrahmanfahasbu? Jawabannya iya. Banget malahan. Terutama kami yang " nyantri "  di @assalaamsolo harus pulang dengan mempersiapkan sebaik-baik rencana dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Apalagi dengan segudang persyaratan buat perpulangan. Harus pakai konsulatlah jikalau tak dijemput orang tua. Gak boleh keluar kompleklah. Kita bahkan harus nge-cancel semua yang sudah kita persiapkan jauh-jauh hari sebab si @corona.virus.inf0( corona virus disease 2019 )       Tapi setidaknya ada yang patut disyukuri. Entah hanya aku yang merasa, tapi biarlah kubagikan sedikit kesyukuran dibalik apa yang kualami. Come on ... cause of that , kami yang dari Konsulat Sumatera bisa perpulangan bareng. Ah alay, gitu doang... Memang cuy, tapi aku bersyukur bisa bareng gini. Ada kejadian menarik tadi saat di bandara. Seseorang perempuan membawa bola kesayangannya hanya untuk bisa dimainkan saat di rumahnya, Bengkulu . Aku sempet mikir ini cewe ngapain

Romansa Imaginer

       Bilamana kita menapaki masa remaja. Tak kunjung sampai ke sebuah titik pola pikir yang matang. Kosa kata ini muncul bak matahari terbit di ufuk timur. Amat menawan. Menjanjikan harapan dan janji masa depan cemerlang. Kala kita sekali saja memandang. Tak kunjung bosan dan enggan sekali memalingkan diri sejenak. Saat itulah kita berada dalam dimensi yang statistika teratur tak lagi tampak. Konfigurasi tanpa objek dan sasaran. Membumihanguskan nalar dan kelogisan. Hingga tak sadar saat teriknya mulai terasa. Mengambil alih kesadaran. Dengan durasi waktu yang tidak sedikit. Kurun waktu jangka panjang. Boleh jadi takkan  pernah sadar. Begitu bengis dan biadabnya. Ialah "cinta".           Lain halnya jika kita lebih bijak memilah dan  mengatur secara akurat, menuju matahari yang agaknya condong di ufuk barat. Hingga kita lebih dari sekedar takjub. Memandangnya adalah ketenangan. Menghapus penat tak terperikan. Sajian tepat menuju malam yang panjang. Mengalihkan luka yan