Langsung ke konten utama

Romansa Imaginer

       Bilamana kita menapaki masa remaja. Tak kunjung sampai ke sebuah titik pola pikir yang matang. Kosa kata ini muncul bak matahari terbit di ufuk timur. Amat menawan. Menjanjikan harapan dan janji masa depan cemerlang. Kala kita sekali saja memandang. Tak kunjung bosan dan enggan sekali memalingkan diri sejenak. Saat itulah kita berada dalam dimensi yang statistika teratur tak lagi tampak. Konfigurasi tanpa objek dan sasaran. Membumihanguskan nalar dan kelogisan. Hingga tak sadar saat teriknya mulai terasa. Mengambil alih kesadaran. Dengan durasi waktu yang tidak sedikit. Kurun waktu jangka panjang. Boleh jadi takkan  pernah sadar. Begitu bengis dan biadabnya. Ialah "cinta". 
         Lain halnya jika kita lebih bijak memilah dan  mengatur secara akurat, menuju matahari yang agaknya condong di ufuk barat. Hingga kita lebih dari sekedar takjub. Memandangnya adalah ketenangan. Menghapus penat tak terperikan. Sajian tepat menuju malam yang panjang. Mengalihkan luka yang mendalam. Pun sama, lagi-lagi "cinta". 
         Masa dimana seorang remaja tanggung begitu ingin tahu dengan satu kata yang seolah datang dari negeri antah-berantah. Mencetuskan isyarat bujuk rayu. Serta merta bilangan-bilangan tak terbilang. Yang nantinya menyematkan imajinasi tak pasti. Pengandaian tak terhenti. Tak apalah. Biarkan cerita ini mengalun anggun dalam aliran alam bawah sadar kita. Selagi kita masih bisa mengingatnya tanpa perlu pengandaian yang kedua kalinya.

(1.1) Gue juara 2 MTQ

      Tak terasa itu sudah lama sekali. Ah, tidak juga. Sekitar tiga tahun silam, akhir dari kependidikan gue di SMP AIBoS( Alkarim Islamic Boarding School). Saat gue begitu menikmati esensial dunia kompetisi. Perlombaan-perlombaan yang tak bisa gue hitung dengan jari. Saking banyaknya, pun saking sedikit pula untuk sekedar menjadi salah satu dari ingatan. Hanya beberapa saja yang terpatri rapi. Tak jadi soal menang kalah. Hanya buat merasakan buaian dunia luar saja. Karena sepanjang waktu kami digembleng dan diasah secara beruntun. Sehingga sedikit terisolasi dari dunia luar. Asal gue bisa keluar sejenak dengan dalih mengikuti lomba. Tak masalah. Gue ikut berbagai macam lomba. Namun secara keseluruhan gue banyak menang di lomba MTQ(Musabaqoh Tilawatil Quran). Meski juga pernah menang di pidato bahasa Arab. Well, semenjak itulah gue difokuskan kesana. Alunan nada bermacam gaya yang tak sekedar merdu. Khas pembuka dan penutup. Durabilitas pernafasan panjang. Belum lagi soal Qira'ah sab'ah, bacaan yang tujuh jumlahnya. Menganalisa dialek beberapa bangsa yang terpadukan dalam sebuah bacaan tersebut. Membuat gue jadi mengaji udah kayak lantunan kucing kena cekik. Belum mulai sudah mulas duluan. Tapi gue ambil hikmahnya aja. Yang penting keluar dari pondok. Sederhana betul niat gue. Tak muluk-muluk gue pertama ikut lomba langsung mencaplok juara 3. Kalau gue nggak salah di SMAN 1 Kota Bengkulu dalam rangka memperingati ulang tahun sekolah tersebut. Sebab itu gue jadi sering pulang pergi pondok. Walau ada saja kalahnya. Singkat cerita, gue disuruh coba ajang MTQ yang lebih berkelas. It means, lomba yang dinaungi langsung oleh Kementerian Agama RI. Alurnya tak mungkin langsung melalangbuana ke ibukota lantas tiba di tingkat nasional. Tak semudah itu ferguso. Gue mulai dari tingkat kota dulu. Kompetisi tersebut dilaksanakan di Masjid yang gue sendiri lupa namanya. Saat itu gue sebagai perwakilan kecamatan Ratu Gading Cempaka. Hal itu tak lain untuk menyaring seluruh bakat yang ada di Kota Bengkulu berdasarkan utusan dari tiap kecamatan. Gue udah siap sejak dahulu kala. Jangan ketawa aja kalau gumaman gue dulu itu amat berfaedah. Setiap kali senja mengelanyut, gue selalu menyempatkan diri ke ujung koridor kelas yang tepat disampingnya terhampar hijaunya sawah lapang. Enjoy the dusk in simple place. Angin sore menelisik sekitar rambut. Amatlah elok jika gue sedikit melafalkan kalam-Nya.
(1.2) Kafilah gue

Persiapan gue udah amat matang. But, perlu diketahui bahwa sebenarnya gue punya seorang rival. Saingan sejawat. Ini berbeda dengan Haikhal Fazad di SMA gue. It's not a partner. Namanya Shendy Aleyhandra Putra. Neraca menang kalah gue sama dia beda tipislah. Katakanlah sama. Menurut gue ini adalah puncak persaingan bagi kami berdua. Karena saat ajang MTQ ini dipublikasikan, kami telah duduk di bangku kelas 9. Kondisi saat itu tepatnya jatuh pada TRY OUT  yang kedua. 
Entah kenapa dia kagak juga dapat kecamatan yang bersedia menerima sebagai utusan. Semua kecamatan telah menentukan masing-masing utusannya. It was full participant. Akhirnya, terpaksa gue maju sendiri. 
        Keesokan harinya, malang tak dapat ditolak. Pun sial tak kunjung padam. Hujan deras menerpa seluruh kota madya Bengkulu. Amboi. Gue lihat awan hitam legam serta angin yang sedikit menggoyahkan mental gue saat itu. Celakanya, Ustadz yang mau jemput gue mendadak ada urusan genting. Gue tanya sama bagian pengembangan bakat. Kenal deket banget gue sama ini Ustadz. Nama beliau adalah Kak Medi Ariansyah. Bilangnya sih belum terlalu tua sehingga gue udah anggap sebagai kakak sendiri. Alhasil, gue berangkat sama dia naik motor. Sebenarnya gue udah mager mau lomba ini. Kondisinya sama sekali kurang bersahabat. Tapi dia malah jelasin ini sebagai pencarian jati diri sekaligus pengalaman berharga buat masa depan gue. Ya udahlah, gue ikutin aja. Kami berangkat menembus hujan dengan berbalut mantel dan jaket. Bodohnya gue saat itu adalah memakai seragam utusan resmi kecamatan dan sepanjang perjalanan kami basah kuyup. Tentulah kusut masai kami ketika sampai di pelataran masjid. Gue yang paling payah keadaannya. Seragam resmi lecek dan basah. Sepatu gue basah(untung lombanya di masjid). Kelupaan bawa peci pula. Amboi, mantap sudah fashion gue. Langsung masuk gue ke bagian registrasi ulang. Lantas mengisi daftar kehadiran seraya mengambil nomor lomba. Panitia malah senyum lihat gue. Pake sinis pula bapak ini menatap gue. Ah, sudahlah. Masuk ke area lomba ternyata acara telah dimulai sejak lama.
(1.3) kafilah Bengkulu 

       Baru aja gue duduk sambil sedikit menata rambut yang cukup basah. Belum sempat menghela napas menyeka lecak lepek seragam, nama gue dipanggil untuk maju kedepan!!! What the hell?! Gue tambah dongkol waktu gue berdiri mau ke panggung, seketika peserta lomba dan para official tiap kecamatan menatap aneh. Gue kikuk aja sambil jalan ke arah panggung. Aduh, kenapa waktu terasa berjalan macam siput terseok. Gue jalan kesana udah kayak satu kilo aja jaraknya. Sampai disana, gue duduk bersila, menatap juri satu per satu. Khasnya lomba ini adalah panggungnya itu seperti kita diisolasi. Macam masuk dalam telur. Tertutup oleh kaca bening. Menurut gue ini sangat membantu kita lantaran melindungi diri dari euforia tegang. Jadi i see the audiende and they see me. Gitu, kita serasa menonton dan ditonton. Lantas gue coba mengalihkan grogi dengan sedikit mengambil napas. Mulai. Gue memakai tingkatan nada terendah bayati qarar, lantas disusul oleh rhos, hijaz terus gue tutup pake bayati lagi. Lumayan lancar.   
       Semua peserta gue bungkam semua kalau ini bukan ajang yang mempermasalahkan penampilan. Tapi bagaimana kita merealisasikan kemampuan di atas panggung. Keluar masjid gue sama kak Medi makan and back to  second home sweet home. 
(1.4) Gue di masjid legend 
Tiga hari kemudian gue dapat kabar kalau gue menang juara satu tingkat kota ini. Serta layak maju sebagai perwakilan kota Bengkulu kategori putra di MTQ provinsi di kota Lebong. Kabar baik sekaligus buruk adalah si Shendy ternyata mendapat dukungan penuh dari pemerintah  Kabupaten_Bengkulu_Tengah yang belum mendapatkan utusan. Mereka percaya lantaran Shendy menyerahkan berkas-berkas sertifikat yang pernah ia menangi selama ini. Salah satunya sertifikasi yang berasal dari Perayaan Milad Kementrian Agama Kota. Singkat cerita gue sama Shendy berangkat ke Lebong secara terpisah. Karena  kami dari kafilah(utusan) yang berbeda. Seragam sudah diberikan dan tiba disana euforia kompetisi mukai tercium pekat. Berbagai kafilah dari seluruh kabupaten/kota berkumpul disana. Seragam-seragam yang beraneka macam menghiasi kota Lebong  selama sepekan. Gue sunpah merasa lega banget. Soalnya kami dapat royalty dari pemerintah dan fasilitas hotel di Lebong. Btw, jangan kira hotel disana bagus macam hotel berbintang pada umumnya. Hotel macam apa yang kamarnya tidak ber-AC, petugas hotel tanpa seragam, tak ada resepsionis pula. Tapi ini gue syukuri aja karena gue bisa libur seminggu dari hiruk  pikuk pondok sekaligus menikmati plesir ke kota Lebong. Lumayanlah liburan gratis. Tapi jangan senang dulu, karena uang dari pemenang bukan untuk foya-foya. 
       Gue masih ingat betul kata pak walikota saat melepas kepergian kami di kantornya. "Pastikan kita jadi juara umum", begitu kata beliau. Tiga hari tiga malam kompetisi berlangsung. Sisanya adalah acara refreshing ke tempat-tempat wisata di kota Lebong. 
(1.5) Ramainya Bioa Putiak 

Saat itulah semuanya terjadi seketika. Kosa  kata yang sejak dari awal kita bahas sedemikian rupa. Menyeruak keluar entah dari mana asalnya. Menjadi sebab musabab bagi diri gue mengalami sebuah romansa imaginer. Ketahuilah kawan, bahwa apa yang kau anggap indah belum tentu demikian kenyataannya. Mungkin gue mengganggap ini adalah hal spesial yang tuhan berikan buat gue. Pasalnya gue tak pernah sedikit pun tahu. Bahwa gue tidak ada bedanya dengan bilangan imaginer.
      Kalian pernah mendengarnya? Sesuai namanya. Bilangan tersebut dijuluki demikian oleh Descartes karena bilangan imaginer hanya bisa dibayangkan bahkan wujudnya, terutama posisi di dalam diagram Cartesius  tidak diketahui. Konon katanya, sang penemu bilangan ini, Girolamo Cardano pernah membuat manuskrip "Horoskop bagi Yesus Kristus". Bayangkan itu! Dia mencoba menganalogikan  bintang-bintang untuk meramal kehidupan Tuhan. Maka hebat betul pasti imajinasinya bukan? Tak salah bilangan tersebut bernama demikian. 
Maka sama sepertinya diriku. Bedanya aku tidak sehebat Cardano yang mengkhayal kehidupan tuhan. Aku hanya berimajinasi penuh pengandaian serta khalayan terhadap seorang perempuan di Kota Lebong yang sungguh jauh dari kata romantis. Kota yang dingin hawanya. Tragis sekali bukan? Tak usah pula kusebut namanya. Karena ini hanyalah cinta satu sisi. Dimana sisi lain tak terkoneksi. Sebab korelasi antar kami tak pernah sekalipun terjadi. Jadilah gue cinta yang bertepuk sebelah tangan.     
(1.6) Gue memantau si Dia

     Sungguh, seandainya saja ada ajang kompetisi mengkhayal. Gue yang paling hebat segalaksi bima sakti saat itu. Kami bertemu disana ketika gue lomba. Dan ternyata dia ikut lomba MTQ juga. Dengan kafilah yang sama. Oh my god... Inikah guratan takdir buat gue? Itu salah satu khayalan gue yang terimajinatif. Menyangka takdir tuhan padahal bukan begitu kenyataannya. So, bukannya fokus sama lomba, malah sibuk melayang pandang ke wajahnya yang aduhai itu. Bukan main. I was going to be crazy saat pagi dimana kami berangkat ke area lomba tersebut. Karena mengikuti lomba yang sama, di lokasi yang sama pula. Yakni di Masjid Agung Sulthan Abdullah  kami berangkat diantar oleh official kami. Naik mobil. Gue masuk ke belakang sebelah kanan. Si dia ini masuk ke belakang sebelah kiri. Aduh, meski masih ada jarak pun, seperti ada jutaan voltase ion listrik gitu dalam tubuh gue. Menggelitik ria. Suddenly, adeknya si dia ini mau masuk ke belakang. Karena dia juga lomba ditempat yang sama dengan kami. Gue kira si adek ini bakal duduk di tengah. Otomatis gue jadi agak merasa aman. Nyatanya si adek ini malah ingin duduk di dekat jendela. Hah?! Gue langsung imaginer mode on. Berbagai rupa khayalan menari-nari di kepala gue. Si dia pun menggeser posisi sedikit mendekati gue dengan wajah biasa aja. Dan gue pun mati sekejap dengan tidak biasa. That's killing me slowly! Jutaan voltase ion listrik yang tadinya dalam tubuh gue beregenerasi amat sangat cepat. Sampai hati gua bakal mencuat keluar dibuatnya. Oke fix, gue keringat dingin kala itu. Sebeginikah rasanya duduk dekat orang yang kita sukai? Boleh jadi ini khalayan gue yang terimajinatif lagi. 
       Actually kami pernah bertemu sebelumnya di lomba tahfidz MTSN 1 Kota Bengkulu. Jadi tak menyangka bakal ketemu lagi. Saat tiba gilirannya maju pun aku tak berkedip sedikit pun. Ada yang bilang kita boleh menatap wajah wanita asal tak lebih dari tiga kedipan mata. Bodohnya gue menahan ini mata hanya demi kagak dosa. Mana ada ajarannya itu mah. Shendy ternyata udah di lokasi yang sama. Dia nomor urut terakhir sedang gue nomor urut empat. 
       Setelah lomba selesai, kami kembali ke hotel untuk istirahat. Karena tiga hari ke depan kami plesir ke tempat wisata Kota Lebong. Kafilah gue berangkat dengan dua bus. Cowok dan cewek jelas dipisah. Selama gue amati, ternyata bukan cuma gue yang mengalami kejadian romansa Imaginer ini. Bedanya adalah mereka yang lebih dewasa dari gue terutamanya, merealisasikannya dengan ceplas-ceplos langsung. Terus terang banget. Istilahnya menyelesaikan secara gentle. Gue kagak sanggup macam mereka ini. Jumlah bilangan imaginer gue mungkin udah infinity banget dah. Tak terhingga. 
       Wisata alam Kota Lebong memang masih asri sekali. Kami pertama ke "Bioa Putiak" yang berarti air putih. Itu adalah sumber mata air yabg konon panasnya bisa memasak telur hingga matang. Terlihat uapnya begitu menyembul dengan gelembung-gelembung muncul timbul. Kulihat disana si dia tengah bermain memainkan kakinya di salah satu genangan air. Astaga, elok sekali senyumnya. Melintang lebar saat si dia dan teman perempuannya berfoto bersama. Tampak sedikit lesung pipit dan rona di pipinya. Amboi, termangu kaku gue melihatnya. Seandainya saja gue bisa lebih berani. Sedikit saja bercengrama dengannya tentu menjadi kenangan yang teramat indah. Tapi ya begitulah gue, hanya sanggup menatap dari kejauhan. Berharap ia membalas tatapan dengan senyum lesung pipit itu.
(1.7) Eksotik Danau Pincung
       Setelah itu kami ke danau pincung terbentang luas begitu indahnya. Kita akan disuguhkan dengan pemandangan lain berupa bukit-bukit hijau dikejauhan serta udara sejuk khas pegunungan. Pun kita dapat menyewa perahu dan memancing ikan seraya menikmati pemandangan. Kuintip sejenak si dia. Sama saja, kawan. Lesung pipitnya tetaplah indah. Melampaui indahnya danau. Menambah khayal dan andai diri gue. Dengan segenap bilangan imaginer tak berkesudahan. 
       Tak ada yang salah sebenarnya mengagumi dirinya. Sehabis lomba di Lebong, gue jadi berasumsi bahwa first love never survive, but never dies. Tak bisa awet dengan lama. Tapi tak bisa mati seketika. Terombang-ambing tanpa kejelasan. Kisah gue di Lebong tutup buku dengan menangnya Shendy sebagai juara 1 sedang aku juara 2. Lebih menyakitkan mengetahui bahwa si dia juga juara 1. Otomatis yang mewakili provinsi untuk maju ke tingkat nasional di kota Medan adalah mereka berdua. Arhg, itu menyulut api cemburu gue hingga menyesal kenapa tak maksimalkan latihan. Coba aja gue kalahin si bedebah rival ini. Bisa punya kesempatan lebih lama lagi kan dengannya. Lagi-lagi khayal dan andai. Tak ada yang bisa gue perbuat selain mengucap selamat. Meski kelu, gue buat setulus mungkin. Dari hati yang terdalam. 
       Biarpun begitu, gue tak sedikit pun menyesal pernah jatuh cinta padanya meski itu dalam ranah gue seorang. Percayalah, nasib bilangan imaginer tersebut tak berakhir tragis. Karena jauh setelah si Cardano meninggal, banyak para pakar matematika dan ilmuwan yang mengembangkannya. Yang tadinya bilangan khayal, ternyata memiliki kelebihan dalam menghitung pergerakan osilasi dan gelombang. Sehingga banyak digunakan dalam perangkat komunikasi, mulai dari telepon hingga wifi. Bahkan analis imaginer tersebut dapat menakar posisi sumber tsunami. Menakjubkan bukan? 
       Gue hanya bisa berharap serangkaian cerita yang gue alami dapat menjelma menjadi imaginer tadi. Meski kita harus rela melepaskan pagi yang indah, jangan kecewa karena senja menanti kita dengan sangat anggun di ufuk sana. Sambil menunggu saat itu tiba, cobalah tengok langit di atas sana. Tengok saja terus. Boleh jadi langit hari ini lebih biru dari biasanya. Siapa tahu kan? 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seru!!! Pulang Bersama Konsulat PPMI Assalaam

          Ribetkah? Sebagai aku @arifrahmanfahasbu? Jawabannya iya. Banget malahan. Terutama kami yang " nyantri "  di @assalaamsolo harus pulang dengan mempersiapkan sebaik-baik rencana dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Apalagi dengan segudang persyaratan buat perpulangan. Harus pakai konsulatlah jikalau tak dijemput orang tua. Gak boleh keluar kompleklah. Kita bahkan harus nge-cancel semua yang sudah kita persiapkan jauh-jauh hari sebab si @corona.virus.inf0( corona virus disease 2019 )       Tapi setidaknya ada yang patut disyukuri. Entah hanya aku yang merasa, tapi biarlah kubagikan sedikit kesyukuran dibalik apa yang kualami. Come on ... cause of that , kami yang dari Konsulat Sumatera bisa perpulangan bareng. Ah alay, gitu doang... Memang cuy, tapi aku bersyukur bisa bareng gini. Ada kejadian menarik tadi saat di bandara. Seseorang perempuan membawa bola kesayangannya hanya untuk bisa dimainkan saat di rumahnya, Bengkulu . Aku sempet mikir ini cewe ngapain

Rangkap Tiga jadi Satu (Alkuna—Alkana)

       Hanya anggapan semata jika tak terlalu paham manakala dunia begitu indah berputar. Semuanya musti dan pasti berubah. Karena sang hukum semesta pertama tak akan pernah bisa singgah. Sejenak pun mana peduli dengan sekitarnya. Sedetik pun mana sudi menolehkan pandang. Ialah waktu, yang dengan namanya Tuhan bersumpah. Betapa rugi mereka yang tak benar paham, menyertai waktu adalah harapan. Badai pasti berlalu, karena waktu tak kenal lelah berjalan. Hujan segera reda, sebab waktu tak pernah mengenal kata usai. Ketahuilah, boleh jadi satu-satunya hal yang takkan musnah di semesta ini adalah waktu. Bagaimanalah, sebab amat mustahil ia musnah dan tiada. Bagaimana kehidupan akan berjalan setelahnya. Bagi kalian yang percaya bahwa ada kehidupan setelah kematian, waktu tak benar-benar lenyap. Membingungkan bukan? Mau tak mau ia harus tetap ada. Keberlanjutannya must be exist.          Diantara banyaknya corak di dunia ini, gue adalah salah satu titik kecil. Berada dalamnya, terlibat ol