Langsung ke konten utama

Berbenah atau Membangun?

       Kebanyakan orang tak benar paham jika perbaikan tak sekedar jadi lebih baik lantas selesai. Sama halnya dengan kepolosan berpikir untuk membuka lembaran baru, serta merta terlihat bagus dan kemilau. Camkan bahwa setiap perbaikan andai sebelumnya terjadi ketidaktelitian walau hanya semili saja. Kahancuran berskala besar menjadi momok yang seharusnya ditakuti. Tergoyang sedikit runtuh. Tersulut sedikit hangus. Meninggalkan bekas yang tak elok dipandang. Cermatilah dengan seksama. Jangan sampai hal yang seharusnya memulihkan keadaan yang ada, justru menikamnya dengan belati tajam berlumur racun. Ketahuilah, daripada membangun kembali bangunan yang telah runtuh, ada baiknya jika merancang dan membuat saja bangunan baru. Dengan harapan esok lusa lebih kokoh dan kuat tahan banting. Pahamilah, daripada menyiram tanaman yang telah layu, ada bagusnya jika menanam tanaman yang baru. Dengan secercah harapan, kelak menjadi lebih indah. Elok dipandang dengan segerombol buah lezat tergelantung di antara lebatnya dedaunan yang hijau. Wahai, ternyata ini tak sesederhana yang dipikirkan. Tak mudah untuk buat putusan. 
(1.1) Foto bareng ZBT

       Berhati-hatilah membuat putusan. Perhatikan suasana dan keadaan. Sadarilah bahwa tidak semua hal bisa dianalogikan dengan apa yang sebenarnya logis dalam pikiran. Karena sungguh, ada kalanya kita harus membuang logika demi sekedar menjaga perasaan. Walau hanya berlaku singkat, tak mengapalah demikian. Cukup cari waktu dan tempat yang sesuai seraya mempersiapkan kata demi kata. Jangan terburu-buru mengungkapkan. Takutnya nanti malah menjadi beban. Tak layak merusak momen yang sudah terancang sedemikian bagusnya. Hanya karena rasa tak sabaran kita dalam hal mengungkapkan. Ingatlah bahwa bunga mawar terindah sekalipun jika ia tumbuh di waktu dan tempat yang salah. Akan layu begitu mudahnya, hingga mati dengan cara memilukan. Izinkan kisah ini mengalun dalam melodi yang gue visualisasikan dalam bentuk tulisan. 
       Lantunan nada-nada kisah persahabatan telah tiba di Kapatra 2. Asrama gue tinggal dan bercengrama cukup lama dengan sang Pencipta. Berbincang dalam arti sebenarnya. Cukuplah bagiku untuk menelaah dan mentadaburi tiap kata yang Dia ucapkan. Amat sangat berterima kasih bagi seseorang yang telah berkontribusi dalam hal memvisualisasikan dalam sebuah tulisan. Mengabadikan seluruh kisah terhebat yang pernah terjadi. Kabar gembira dan peringatan, tanda-tanda bergelimang makna, serta berbagai pedoman yang sudah diarahkan. Semua itu ia abadikan berupa tulisan. Yang kelak menjadi suatu bestseller yang sesungguhnya. Tak terhitung berapa banyak manusia melafalkannya. Tak terbayang beratus juta kepala yang tersematkan di dalamnya walau hanya beberapa ayat saja. Bisakah kau perkirakan berapa banyak kebaikan yang tercantum buatnya. Countless. Setiap harinya berjuang mengarungi berbagai tempat untuk mendapat koreksi dalam tulisannya. Tak kenal lelah beliau menulis untaian kata yang tak sekedar kata. Ucapan yang teramat mulia. Bagaimanalah susahnya. Amboi. 
(1.2) Keluarga besar ZBT

     Tak salah jika asrama kami menorehkan nama seperti dirinya. Dengan harap, semangat yang luhur ini dapat bersemanyam dan terpatri dalam hati. Zaid bin Tsabit. Begitulah namanya. Sang penulis melegenda. Sekaligus sahabat tercinta Nabi SAW. 
       Sewaktu awal pertama kali gue masuk ini asrama. Wuidihh, gue semacam dapat kebanggaan tersendiri. Padahal bukan sesuatu yang luar biasa sebenarnya. So, disini gue ikut berbaur dengan kebiasaan yang udah ada. Bah, demi apa kalau gue merasa pusing setengah hidup. Kepala gue macam berpendar hidup mati dan seterusnya. Masalahnya adalah kita dituntut untuk mengaji yang tak berkesudahan. Pagi, sore, malam. Pikiran alam bawah sadar gue dipaksa kerja. Terseok-seok mengejar ketertinggalan. Kadangkala gue diserang rasa bosan yang teramat sangat. Sukar betul mewujudkan konsistensi macam yang lain. Sejenak gue lihat sekitar seakan mereka melakukan semua kesukaran tersebut layaknya nafas, mudah saja. Saat itulah gue sampai di titik persimpangan jalan. Antara mesti lurus kedepan, belok kiri, atau belok kanan. Sebenarnya apa sih yang gue dapat andai tiga tahun tinggal di asrama ini. Ini adalah asrama khusus. Ini ada dan dibuat demikian untuk mencetak kadernya yang teragung Zaid bin Tsabit. Masa iya gue kelamaan disini membusuk tanpa dapat apa-apa? Patuh manut tanpa capaian target. Mengikuti alur sampai seketika sadar ternyata udah lulus. Sampai gue ketemu sama Alif Luqman Mujahid. Dia adalah orang yang membuat gue berani mengambil capaian yang besar. Membuat gue berani bermimpi dan berkeinginan. Inginku adalah mengambil resiko tertinggi yang ada. Harapku adalah disanalah hasil terbaik bersarang. Sekonyong-konyong gue jadi antusias dengan eksistensi menghafal quran. Kenapa sebagian orang bisa melakukannya, sedang aku tak bisa? Alhasil gue coba sebisa mungkin memaksimalkan waktu yang telah diberikan. Sekalian gue menemukan rumus hidup baru yang tak semua orang paham dan tahu. Bahwa ini adalah sebuah kepiawaian kita dalam memilih sesuai keadaan. Ada tiga tipe penghafal quran. Yang pertama ialah mereka yang senantiasa menghafal quran serta mengulang tanpa bosan saat waktu luang. Gue bukan tipe yang seperti ini. Karena terlalu pusing menyeimbangkan antara menghafal dan mengulang. Not me. Yang kedua ialah mereka yang memfokuskan diri kepada pengulangan. Adalah mereka yang ingin tidak sekedar hafal. Meskipun sengan kuantitas yang tak seberapa. Dulu gue terjebak oleh kelamnya tipe tersebut. Karena setelah gue pikir-pikir lagi, tingkat capaian gue stuck disitu aja. Tak naik, tidak pula turun. Statistika gue kalau dibikin garis mungkin datar. Amat sangat datar. Flat banget. Dan ini berlawanan dengan konsep yang sudah gue gigit bertahun-tahun. Bahwa gue harus maju meskipun itu sedikit berbelok ke berbagai arah seraya membuat pola yang indah. Pengulangan secara terus menerus bisa menyebabkan kejemuan dan berakibat malas melanjutkan. Selama setahun gue terperosok ke dalam jurang kejemuan tersebut. Sampai gue mendapat untaian pertolongan tangan dari si Alif itu. Menyelamatkan gue dari lembah kemalasan. Nah, tipe terakhir ialah mereka yang membuat capaian dan jangkauan target dengan sedikit mengurangi porsi pengulangan. Kalau gue melihat itu sekedar megindahkan sejenak lantas membawanya kembali. Fokus saja terus menghafal. Prioritas pada kuantitas terlebih dahulu. Baru kualitas. Karena menurut gue, hal semacam ini membuat semangat kita terpacu maju lebih cepat meski nantinya akan lupa. Tapi percayalah bahwa tak sepenuhnya hilang. Kita pasti mengingatnya walau sedikit. Pastilah ada secercah ingatan yang tersangkut dalam memori otak kita. Dan yang perlu diketahui adalah kita cukup melakukan berulang-ulang. Sederhananya begini, kita telah menghafalnya secara amat cepat. Lantas lupa. Jangan khawatir. Karena lupa memang sifat alamiah manusia. Sekuat apapun ingatan seorang manusia, pasti pernah terlibat dengan kata lupa. Itulah fungsi pengulangan. Logikanya apakah jika kita sudah hafal dan tidak pernah lupa, lantas kita say good bye dengan Quran? Tidak sama sekali bukan? Nah, setelah kita capai target dengan waktu yang teramat singkat tersebut. Cobalah untuk menghafal lagi dari awal. Terus saja begitu sampai maut menjemput. Tak mengapa  berpuluh ribu kali kalian menghafal. Sejatinya itu sudah bentuk dari pengulangan yang penuh perjuangan. Pastikan kalian memacunya dengan kencang. Karena yang perlu dilakukan adalah lakukan itu sebanyak yang kita bisa. 
(1.3) Kami di Jatim Park 1

       Setelah setahun sudah gue berada dalam lingkaran kalam ilahi di asrama khusus tersebut. Berbagai test panjang harus diikuti dengan baik. Tak terasa, gue setelah liburan ini akan jadi strata tertinggi dalam PPMI Assalaam. Kelas akhir serta puncak rantai makanan yang berkuasa. 
Menjadi panutan para adik kelas. Terutama bagi keluarga besar menyandang nama agung "Zaid bin Tsabit". Pastinya tak terlepas bagaimana gue di tahun sebelumnya. Tak terlepas bagaimana tingkah pongah kami saat kelas 11. Perselisihan kami. Perseteruan yang kasat mata maupun tidak. Kekompakkan jangka pendek. Saling ejek dan membungkusnya dalam batin. Sampai seringkali gue berpikir ini tak akan ada habisnya. Tak kelihatan pangkal dari segala masalah. Secercah harapan pun kami tak yakin kalau kami bisa solid. Jika gue pernah membahas romansa imaginer yang penuh khayal dan andai. Ketidakbisaan kami menterjemahkan kode dari hati ke hati ini amat patut dikasihani. Setiap kali kami membuat hal-hal yang harusnya hadir disana, pasti ada saja yang sibuklah. Latihan ini itulah. Urusan sana sini lah. Termasuk gue yang sering terdeteksi di kantor bagian bahasa setiap saatnya. Kadang gue merasa momen kumpul kami senantiasa mendatangkan perseteruan-perseteruan yang baru. Jadi, apa gunanya? Setiap kali kesempatan kumpul ada. Seringkali terjadi saling sindir. Membeberkan aib dan kejelekan atas dasar koreksi dan perbaikan jati diri. Padahal itu membumihanguskan martabat dan harga diri. Kadang kala kami sedikit merasa iri dengan kakak kelas kami, yakni kelas 12. Terlihat sekali begitu kompaknya mereka berjalan di atas sebuah jalur yang sama. Tak saling menjatuhkan namun saling menguatkan. Selalu bercakap agar mempererat relasi pertemanan dan menjaganya. Sejujurnya gue pernah merasakan betapa hangatnya pertemanan mereka. Saat itu mereka mengadakan makan bersama dalam rangka syukuran salah seorang dari mereka yang sudah tuntas hafalan qurannya. Alhasil gue yang satu kamar dengan kakak kelas tersebut diajak pula. Amboi, masih terpatri dalam ingatan gue. Kerecehan mereka dan canda tawa yang menakjubkan. So magically and nice relationship. Gue sempat berpikir, kenapa kami tak bisa seperti ini. Sungguh, beruntung betul mereka ini. Alhasil gue ceritakan itu kepada yang lain. Sumpah gue selalu bingung kenapa setiap kali kita kumpul, adu mulut hadir dengan mudahnya. Makan bersama sekalipun, satu dua hal menyebabkan salah seorang sakit hati lantas menangisi diri. Untung itu anak tak bunuh diri. 
       Bahkan rihlah(piknik) sekalipun kami tak pernah akur dan kompak. Terpisah. Seakan kami ini mempunyai kubu masing-masing. Kubu ini di ufuk sana. Kubu itu di ufuk sini. Alangkah gagapnya persatuan kami. Disintegrasi tingkat tinggi. Untung sebelum masuk di tempat piknik tersebut(JaTim Park 1), kami sempat foto bersama. Agar tak susah mencari saat sudah didalam nanti. Penanggulangan perpecahan yang terasa mustahil dilakukan. Solidaritas antar kami semacam sumber daya yang tak bisa diperbarui. Selagi sibuk membenahi diri masing-masing. Seketika itu juga roboh dan ambruk kembali. Ini yang menyebabkan gue berasumsi dan berani mengatakan kepada yang sudah kami anggap sebagai pemimpin. Namanya Syahirul Alim. Memang alim juga ini anak, sesuai namanya. Setiap dia ada waktu luang, mengaji itulah yang dikerjakan. Bingung betul dengan konsistensi dia dalam menghafal quran. Two thumbs up to him! Sebelum tidur dia selalu melantunkan dengan nada yang cukup elok didengar. Walaupun merasa ada yang terganggu karena sudah masuk waktu tidur. But, i think it’s okey. Baik untuknya dan baik pula bagi kita yang mendengarnya.

(1.4) Si Alim pose silat. JPG

       Tapi seiring waktu berjalan, kekompakkan kami serta kebersamaan kami justru dilanda nestapa akut. Posisinya telah mencapai klimaks dan sudah dipastikan berada di ujung tanduk. Tinggal menunggu waktu kapan ia akan jatuh dan pecah berhamburan. Di akhir kelas 11 ini kami sudah tahu bahwa di tahun depan, beberapa teman kami ada yang dikeluarkan dari asrama khusus ini. Mereka segelintir orang yang dianggap tak layak untuk tetap berada di sana. Serta merta kami berkumpul dan membahas ini semua. Karena apapun yang terjadi, kami tetaplah sebuah keluarga. Meski kami nantinya tak beratap yang sama lagi. Yakinlah bahwa kita pernah tertawa bersama bahkan berselisih paham hingga berlanjut kepada permusuhan. Coba jadikan itu sebagai kenangan. Sisihkan sedikit saja tempat di memorimu untuk mengingat betapa lucunya kalian saat bertengkar. Hanya sebab sepele yang kecil. Tertawakanlah itu hingga nanti mampu memulihkan sederet luka dengan sendirinya. Biarlah waktu yang menggiring kita supaya menjadi sedikit lebih dewasa. Sebelum kami perpulangan dan libur panjang karena si bedebah covid 19, sempat kami mengadakan foto bersama. Itupun susah sekali mengumpulkannya. Sebelum foto pun masih ada yang sempat berantem. Cekcok sebentar. Ya sudahlah, yang penting foto bersama. Bukti bahwa kita pernah menjadi keluarga. 
       
       


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seru!!! Pulang Bersama Konsulat PPMI Assalaam

          Ribetkah? Sebagai aku @arifrahmanfahasbu? Jawabannya iya. Banget malahan. Terutama kami yang " nyantri "  di @assalaamsolo harus pulang dengan mempersiapkan sebaik-baik rencana dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Apalagi dengan segudang persyaratan buat perpulangan. Harus pakai konsulatlah jikalau tak dijemput orang tua. Gak boleh keluar kompleklah. Kita bahkan harus nge-cancel semua yang sudah kita persiapkan jauh-jauh hari sebab si @corona.virus.inf0( corona virus disease 2019 )       Tapi setidaknya ada yang patut disyukuri. Entah hanya aku yang merasa, tapi biarlah kubagikan sedikit kesyukuran dibalik apa yang kualami. Come on ... cause of that , kami yang dari Konsulat Sumatera bisa perpulangan bareng. Ah alay, gitu doang... Memang cuy, tapi aku bersyukur bisa bareng gini. Ada kejadian menarik tadi saat di bandara. Seseorang perempuan membawa bola kesayangannya hanya untuk bisa dimainkan saat di rumahnya, Bengkulu . Aku sempet mikir ini cewe ngapain

Romansa Imaginer

       Bilamana kita menapaki masa remaja. Tak kunjung sampai ke sebuah titik pola pikir yang matang. Kosa kata ini muncul bak matahari terbit di ufuk timur. Amat menawan. Menjanjikan harapan dan janji masa depan cemerlang. Kala kita sekali saja memandang. Tak kunjung bosan dan enggan sekali memalingkan diri sejenak. Saat itulah kita berada dalam dimensi yang statistika teratur tak lagi tampak. Konfigurasi tanpa objek dan sasaran. Membumihanguskan nalar dan kelogisan. Hingga tak sadar saat teriknya mulai terasa. Mengambil alih kesadaran. Dengan durasi waktu yang tidak sedikit. Kurun waktu jangka panjang. Boleh jadi takkan  pernah sadar. Begitu bengis dan biadabnya. Ialah "cinta".           Lain halnya jika kita lebih bijak memilah dan  mengatur secara akurat, menuju matahari yang agaknya condong di ufuk barat. Hingga kita lebih dari sekedar takjub. Memandangnya adalah ketenangan. Menghapus penat tak terperikan. Sajian tepat menuju malam yang panjang. Mengalihkan luka yan

Rangkap Tiga jadi Satu (Alkuna—Alkana)

       Hanya anggapan semata jika tak terlalu paham manakala dunia begitu indah berputar. Semuanya musti dan pasti berubah. Karena sang hukum semesta pertama tak akan pernah bisa singgah. Sejenak pun mana peduli dengan sekitarnya. Sedetik pun mana sudi menolehkan pandang. Ialah waktu, yang dengan namanya Tuhan bersumpah. Betapa rugi mereka yang tak benar paham, menyertai waktu adalah harapan. Badai pasti berlalu, karena waktu tak kenal lelah berjalan. Hujan segera reda, sebab waktu tak pernah mengenal kata usai. Ketahuilah, boleh jadi satu-satunya hal yang takkan musnah di semesta ini adalah waktu. Bagaimanalah, sebab amat mustahil ia musnah dan tiada. Bagaimana kehidupan akan berjalan setelahnya. Bagi kalian yang percaya bahwa ada kehidupan setelah kematian, waktu tak benar-benar lenyap. Membingungkan bukan? Mau tak mau ia harus tetap ada. Keberlanjutannya must be exist.          Diantara banyaknya corak di dunia ini, gue adalah salah satu titik kecil. Berada dalamnya, terlibat ol